Biarkan Saya Berubah


Malam ini jalanan masih basah karena hujan mengguyur dari tadi siang. Aku melangkahkan kakiku melewati gang-gang kecil sepanjang jalan menuju rumahku.

Seperti biasa, tiap aku melangkah selalu saja ada pandangan-pandangan aneh mengikutiku. Cuek saja, memangnya siapa mereka? Begitulah yang aku katakan pada diriku setiap ada yang melihatku dengan tatapan aneh. Terkadang ada anak-anak kecil yang suka mengikutiku dari belakang dan meneriaki, “Ada banci, ada banci! ”

Siapa sih yang mau diciptakan dengan keadaan yang seperti ini. Aneh. Tubuhku memang laki-laki tapi kata orang, gerakanku seperti wanita, lemah gemulai. Ih, aku juga enggan menjadi seperti ini. Namun susah untukku menolak semua ini.

“Tuhaaaaaaaaaaaaaaan, aku tidak terima dengan semua ini!!! Aku ingin normal seperti yang lain. . . menjadi laki-laki seutuhnya.”

Aku duduk di sudut kamarku, tertunduk. Merenungkan tentang keanehan dalam diriku. Air mata ini mengalir deras, entah apa ini termasuk sikap meratapi hidup.

Rasa ini semakin kuat. Tekadku bulat, aku harus berubah. Harus!!!

Kulihat cermin. Mencoba mengamati apa saja yang salah pada diriku. Hmm, ternyata banyak yang harus dirubah dari diriku. Mulai dari dandanan, cara berjalan serta cara berbicaraku yang memang agak mirip wanita tapi aku bukan wanita.

Hari ini aku sedang tidak ada kuliah, aku putuskan untuk ke salon. Permak habis-habisan. Aku punya kenalan di salah satu salon terkem

“Dev, kemana aja bo’? Sudah lupa ya sama kita-kita,” kata si Shanti padaku. Sebenernya namanya Suryo, tapi karena dia ‘banci’ jadi lebih senang dipanggil Shanti. Hihihi, risih juga denger cara mereka ngomong.

“Eh, aku butuh bantuan neh.”

“Ada apaaan Jeng?”

“STOP!! Emangnya aku cewek, dipanggil Jeng.” Sambil melotot ke arah Shanti.

“Ups, sorry nek. Kerasukan setan apa lu, tumben ga mau dipanggil gitu.”

“Aku mau berubah, jadi laki-laki sejati.”

Spontan Shanti tertawa terbahak-bahak sampai satu ruangan memandang ke arah kami.

“Ssst. .. jangan keras-keras. Apa salah kalo aku berubah? Toh sebenarnya aku ini laki-laki, cuma butuh sedikit direnovasi aja.”

“Renovasi?? Rumah kalieeeeeeeeeee. . .”

“Whatever you said. I don’t care!!!”

“Oke-oke, tenang aja. Di tangan Shanti semua akan berubah sesuai dengan keinginanmu.”

Akhirnya Shanti meminta aku duduk di salah satu kursi. Dia mengamati wajahku dari cermin. Sambil mangut-mangut, dia mulai mengambil sisir. Kemudian gunting. Dia mulai memotong rambutku.

Beberapa menit kemudian rambutku langsung berubah. Shanti benar-benar hair styler yang profesional.

“Gimana Dev? Puas??”

“Hmm, lumayan,” kataku sambil mengamati hasil karya Shanti.

Model rambut spike dia pilihkan buatku. Katanya dengan model ini aku bisa terlihat macho.

“Dev, coba deh kamu jalan dari sini sampai depan pintu trus kamu balik lagi ke sini.”

“Buat apa?” Perintah yang aneh batinku.

“Udah laksanain aja.”

Shanti langsung mendorong tubuhku biar aku mau menuruti perintahnya. Karena tidak ada pilihan lain aku pun menurutinya. Aku berjalan sampai ke pintu depan trus kembali lagi ke tempat dudukku. Duh, malu banget diliatin orang-orang di salon.

“Jalanmu ancur banget Dev, gimana orang bisa percaya kalo kamu cowok tulen. Lha jalanmu aja kaya cewek. Heheheh…..”

Yah, ditertawain lagi deh.

“Trus gimana dong.” Sambil pasang muka melas.

“Cowok tuh kalo jalan mesti tegap. Tuh coba liatin cowok-cowok yang lewat. Nah, tahu kan perbedaannya?”

“Oh, gitu yah. Pantes aja aku selalu jadi pusat perhatian tiap jalan di depan umum.”

Setelah mengalami “renovasi” di salon, aku memutuskan untuk pulang dan memikirkan strategi selanjutnya.

“Tit. .tit. .tit” Ada SMS masuk. Dari Nina, dia mau pinjam catatan Farmakop. Nina adalah sahabat dekatku selama aku kuliah di fakultas Farmasi. Dia tidak pernah meledekku atau menjadikanku bahan bercandaan. Bener-bener anak yang baik.

Hari ini aku ada dua mata kuliah. Sengaja bangun lebih pagi dan bersiap-siap dengan perubahan.

“Aku yakin aku bisa berubah. Tuhan, mudahkanlah langkahku. Aku mau berubah menjadi lelaki seutuhnya.”

Dengan langkap tegap aku berjalan dari rumah menuju jalan raya. Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh, makin aneh tepatnya. Aku tetap berjalan dan tidak memperdulikan sekitarku.

“Ini Dev ya? Berubah banget, jadi ganteng sekarang.” Nina mengagetkanku. Biasanya kita selalu bareng tiap mau kuliah, mungkin karena kos-kosan kita deket.

“Ah biasa aja Nin. Uhm, apa masih keliatan kaya banci?”

“Hush, ngomong apa sih, Dev. Aku tuh gak pernah bilang kamu banci. Tapi aku senang melihat perubahanmu sekarang.”

Duh, senyum Nina kali ini benar-benar membuatku merasa gimana gitu. Jadi merasa melayang. Apa ini namanya jatuh cinta?? Ah, tidak mungkin.

“Dev, busnya dah datang. Ayo cepetan.” Nina langsung menggandengku untuk segera masuk ke bus kota.

Kali ini ada yang aneh, jantungku berdegup kencang. Dag dig dug.

Suatu sore hujan kembali mengguyur Surabaya. Kebetulan waktu itu kuliahku sampai sore. Cuma ada aku dan Nina di halte. Semuanya sudah pulang. Sumpah dingin banget di sini.

“Nin, boleh ngomong sesuatu gak?”Aku mencoba memulai pembicaraan.

“Iya Dev. Ada apa?”

“Jujur, sejak pertama masuk di universitas ini cuma kamu satu-satunya orang yang paling baik padaku. Kamu tidak pernah menghinaku. Kamu terima kekurangan apa adanya.”

“Trus.”

“Aku mau kamu jadi cewekku.” Haduwh, malu banget rasanya. Kenapa aku seberani itu.

“Kamu serius Dev??” Nina coba meyakinkanku.

“Aku serius.”

Nina hanya tersenyum padaku.

“Dev, maaf….” Nina tidak meneruskan kata-katanya, jantungku berdegup tidak karuan.

Apakah ini sebuah penolakan?? Atau mungkin aku yang tidak tepat mengatakan tentang hal ini.

“Dev, masih banyak hal yang lebih penting yang bisa kita lakukan. Aku rasa terlalu cepat untuk hal ini. Semoga kamu memahaminya. Tapi, kita tetap berteman tepatnya bersahabat.”

“Iya Nin, kamu benar. Thanks yah, kamu sudah memberiku semangat. Ini sudah cukup buatku.”

Seiring hujan yang mulai berhenti, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Ini awal kehidupan baruku. Aku harus tetap konsisten dengan jalan yang kutempuh. Menjadi lelaki seutuhnya, lelaki sejati. Bukan BANCI!!!


0 komentar to "Biarkan Saya Berubah"