Selamat Tahun Baru Islam 1430 H

Smanla Organization Mengucapkan

Read more


Selamat Natal & Tahun Baru

SMANLA ORGANIZATION MENGUCAPKAN

Read more


Bunga Untuk Ibu


Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.

Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar. Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.

Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.

Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas" dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa. Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang -bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab membantu orang tua di hari libur.

Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.

Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh.

Read more


Selamat Hari Ibu



SELAMAT HARI IBU

22 Desember 2008


*****

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi seragam berdiri
Kecil bersih belum ternoda

Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku s'lalu dimanja
Kata mereka diriku s'lalu ditimang

Nada-nada yang indah
S'lalu terurai darimu
Tangisan nakal bibirku
Tak 'kan jadi deritamu

Tangan halus dan suci
T'lah menangkap tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan

Kata mereka diriku s'lalu dimanja
Kata mereka diriku s'lalu ditimang

Oh Bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku

Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku s'lalu dimanja
Kata mereka diriku s'lalu ditimang

Oh Bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku...


( Bunda - Potret )

Read more


Kaca Spion (Andy F Noya)


Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan
Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke
sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar
perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun
baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh
dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat
sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini
gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya
juga masih sama.
Tapi mengapa rasanya jauh berbeda? malamnya, soal gado-gado itu saya
ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi
ada hal lain yang membuat saya gundah.

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit
saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari
buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan
buku membuat saya merasa begitu bahagia.
Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya
melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku
baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum
meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado
di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam.
Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong.
Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya
pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari
kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan
Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian
Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian
Media Indonesia dan Metro TV.
Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di
sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi
menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika
suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil
sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak
ingin menjadi sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .
Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas
dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan
tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain
bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil.
Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer
saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah
saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah
garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya
disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar
yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya.
Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya
tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar
keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara
keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta
ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu
dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan
ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari
menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan
hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
mengambil uang.
Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu
ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah
artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?

Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat
wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci
pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya
benci orang kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya.
Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan
orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang
gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik,
diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya
bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya
puas. Ada dendam yang terbalaskan.

Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang
kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil
mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka
tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu
tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah
berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan
kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu
karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.
Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan.
Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba
makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika
dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu
berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras." Tidak mudah untuk
untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan
meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat.

Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada
ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi
sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang
berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.

Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam
hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah
satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang.
Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik,
ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat
untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor
yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang
dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain
karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam
sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa
dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.

Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.

Sang ibu, yang ecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta
maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia
berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut
ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas
segera luluh.


Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.

Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu.

Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.

Maka saya bersyukur.

Bersyukur pernah berada di posisi mereka.

Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.

Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian.

Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu.

Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.

Read more


Pelajaran Dari Belalang 2



Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun ia keheranan kenapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, “Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dariusiaataupun bentuk tubuh?”

Belalang itupun menjawabnya, “Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang hidup dialam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan”.Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang selama ini membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Read more


Pelajaran Dari Belalang 1



Kadang-kadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman, atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah anda separah itu? Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih untuk mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tidakkah anda pernah mempertanyakan kepada hati nurani bahwa anda bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau anda mau menyingkirkan “kotak” itu? Tidakkah anda ingin membebaskan diri agar anda bisa mencapai sesuatu yang selama ini anda anggap diluar batas kemampuan anda?

Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai apapun yang anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tetapi bila anda sudah sampai kepuncak, semua pengorbanan itu pasti terbayar.

Kehidupan anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan anda. Bukan cara hidup yang seperti mereka pilihkan untuk anda…

Read more


Memilih Sikap Hidup



Jerry adalah seorang manager restoran di Amerika. Dia selalu dalam
semangat yang baik dan selalu punya hal positif untuk dikatakan.
Jika seseorang bertanya kepadanya tentang apa yang sedang dia kerjakan,
dia akan selalu menjawab, " Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih
suka menjadi orang kembar!"


Banyak pelayan di restorannya keluar jika Jerry pindah kerja,
sehingga mereka dapat tetap mengikutinya dari satu restoran ke restoran
yang lain.
Alasan mengapa para pelayan restoran tersebut keluar mengikuti Jerry
adalah karena sikapnya.

Jerry adalah seorang motivator alami. jika karyawannya sedang
mengalami hari yang buruk, dia selalu ada di sana , memberitahu karyawan
tersebut bagaimana melihat sisi positif dari situasi yang tengah dialamai.

Melihat gaya tersebut benar-benar membuat aku penasaran, jadi suatu
hari aku temui Jerry dan bertanya padanya, "Aku tidak mengerti! Tidak
mungkin seseorang menjadi orang yang berpikiran positif sepanjang waktu.

Bagaimana kamu dapat melakukannya? " Jerry menjawab, "Tiap pagi aku bangun
dan berkata pada diriku, aku punya dua pilihan hari ini. Aku dapat memilih
untuk ada di dalam suasana yang baik atau memilih dalam suasana yang
jelek. Aku selalu memilih dalam suasana yang baik. Tiap kali sesuatu
terjadi, aku dapat memilih untuk menjadi korban atau aku belajar dari
kejadian itu. Aku selalu memilih belajar dari hal itu. Setiap ada sesorang
menyampaikan keluhan, aku dapat memilih untuk menerima keluhan mereka atau
aku dapat mengambil sisi positifnya.. Aku selalu memilih sisi positifnya."

"Tetapi tidak selalu semudah itu," protesku. "Ya, memang begitu,"
kata Jerry, "Hidup adalah sebuah pilihan. Saat kamu membuang seluruh
masalah, setiap keadaan adalah sebuah pilihan. Kamu memilih bagaimana
bereaksi terhadap semua keadaan.
Kamu memilih bagaimana orang-orang disekelilingmu terpengaruh oleh
keadaanmu.
Kamu memilih untuk ada dalam keadaan yang baik atau buruk. Itu
adalah pilihanmu, bagaimana kamu hidup."


Beberapa tahun kemudian, aku dengar Jerry mengalami musibah yang tak
pernah terpikirkan terjadi dalam bisnis restoran: membiarkan pintu
belakang tidak terkunci pada suatu pagi dan dirampok oleh tiga orang
bersenjata.
Saat mencoba membuka brankas, tangannya gemetaran karena gugup dan salah
memutar nomor kombinasi. Para perampok panik dan menembaknya. Untungnya,
Jerry cepat ditemukan dan segera dibawa ke rumah sakit.

Setelah menjalani operasi selama 18 jam dan seminggu perawatan
intensif, Jerry dapat meninggalkan rumah sakit dengan beberapa bagian
peluru masih berada di dalam tubuhnya. Aku melihat Jerry enam bulan
setelah musibah tersebut.

Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, "Jika aku
dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat
bekas luka-lukaku? "
Aku menunduk untuk melihat luka-lukanya, tetapi aku
masih juga bertanya apa yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan.

"Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus
mengunci pintu belakang,"
jawab Jerry. "Kemudian setelah mereka
menembak dan aku tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua
pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati. Aku memilih untuk
hidup."


"Apakah kamu tidak takut?" tanyaku. Jerry melanjutkan, " Para ahli
medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi
saat mereka mendorongku ke ruang gawat darurat dan melihat ekspresi wajah
para dokter dan suster aku jadi takut. Mata mereka berkata 'Orang ini akan
mati'. Aku tahu aku harus mengambil tindakan."


"Apa yang kamu lakukan?" tanya saya. "Disana ada suster gemuk yang
bertanya padaku," kata Jerry. "Dia bertanya apakah aku punya alergi.
'Ya' jawabku..


Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka menunggu jawabanku.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Peluru!' Ditengah tertawa
mereka aku katakan, ' Aku memilih untuk hidup. Tolong aku dioperasi
sebagai orang hidup, bukan orang mati'."


Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena
sikapnya hidupnya yang mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap
hari kamu dapat memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu atau
membencinya.

Satu hal yang benar-benar milikmu yang tidak bisa dikontrol oleh orang
lain adalah sikap hidupmu, sehingga jika kamu bisa mengendalikannya dan
segala hal dalam hidup akan jadi lebih mudah.

Read more


Teman adalah Hadiah


Teman adalah hadiah dari yang di atas buat kita.
Seperti hadiah, ada yang bungkusnya bagus dan ada yang bungkusnya jelek. Yang bungkusnya bagus punya wajah rupawan, atau kepribadian yang menarik. Yang bungkusnya jelek punya wajah biasa saja, atau kepribadian yang biasa saja, atau malah menjengkelkan.

Seperti hadiah, ada yang isinya bagus dan ada yang isinya jelek. Yang isinya bagus punya jiwa yang begitu indah sehingga kita terpukau ketika berbagi rasa dengannya, ketika kita tahan menghabiskan waktu berjam-jam, saling bercerita dan menghibur, menangis bersama, dan tertawa bersama. Kita mencintai dia dan dia mencintai kita.
Yang isinya buruk punya jiwa yang terluka. Begitu dalam luka-lukanya sehingga jiwanya tidak mampu lagi mencintai, justru karena ia tidak merasakan cinta dalam hidupnya. Sayangnya yang kita tangkap darinya seringkali justru sikap penolakan, dendam, kebencian, iri hati, kesombongan, amarah, dll.

Kita tidak suka dengan jiwa-jiwa semacam ini dan mencoba menghindar dari mereka. Kita tidak tahu bahwa itu semua BUKAN-lah karena mereka pada dasarnya buruk, tetapi ketidakmampuan jiwanya memberikan cinta karena justru ia membutuhkan cinta kita, membutuhkan empati kita, kesabaran dan keberanian kita untuk mendengarkan luka-luka terdalam yang memasung jiwanya.

Bagaimana bisa kita mengharapkan seseorang yang terluka lututnya berlari bersama kita? Bagaimana bisa kita mengajak seseorang yang takut air berenang bersama? Luka di lututnya dan ketakutan terhadap airlah yang mesti disembuhkan, bukan mencaci mereka karena mereka tidak mau berlari atau berenang bersama kita. Mereka tidak akan bilang bahwa "lutut" mereka luka atau mereka "takut air", mereka akan bilang bahwa mereka tidak suka berlari atau mereka akan bilang berenang itu membosankan dll. Itulah cara mereka mempertahankan diri.

Mereka akan bilang:


"Menari itu tidak menarik"
"Tidak ada yang cocok denganku"
"Teman-temanku sudah lulus semua"
"Aku ini buruk siapa yang bakal tahan denganku"
"Kisah hidupku membosankan"
Mereka tidak akan bilang:
"Aku tidak bisa menari"
"Aku membutuhkan kamu denganku"
"Aku kesepian"
"Aku butuh diterima"
"Aku ingin didengarkan"

Mereka semua hadiah buat kita, entah bungkusnya bagus atau jelek, entah isinya bagus atau jelek. Dan jangan tertipu oleh kemasan. Hanya ketika kita bertemu jiwa dengan jiwa, kita tahu hadiah sesungguhnya yang sudah disiapkanNya buat kita.

Read more


Cerita Tentang Kebosanan


Seorang tua yang bijak ditanya oleh tamunya.

Tamu :"Sebenarnya apa itu perasaan 'bosan', pak tua?"

Pak Tua :
"Bosan adalah keadaan dimana pikiran menginginkan perubahan, mendambakan sesuatu yang baru, dan menginginkan berhentinya rutinitas hidup dan keadaan yang monoton dari waktu ke waktu."

Tamu :"Kenapa kita merasa bosan?"

Pak Tua :"Karena kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki."

Tamu :"Bagaimana menghilangkan kebosanan?"

Pak Tua : "Hanya ada satu cara, nikmatilah kebosanan itu, maka kita pun akan terbebas darinya."

Tamu :"Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan?"

Pak Tua:"Bertanyalah pada dirimu sendiri: mengapa kamu tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari?"

Tamu :"Karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda, Pak Tua."

Pak Tua :"Benar sekali, anakku, tambahkan sesuatu yang baru dalam rutinitasmu maka kebosanan pun akan hilang."

Tamu: "Bagaimana menambahkan hal baru dalam rutinitas?"

Pak Tua :
"Ubahlah caramu melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelpon dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri atau dengan kaki kalau bisa. Dan seterusnya."

Lalu Tamu itu pun pergi.

Beberapa hari kemudian Tamu itu mengunjungi Pak Tua lagi.

Tamu :"Pak tua, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan, kenapa saya masih merasa bosan juga?"

Pak Tua :"Coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan."

Tamu :"Contohnya? "

Pak Tua :"Mainkan permainan yang paling kamu senangi di waktu kecil dulu."

Lalu Tamu itu pun pergi.

Beberapa minggu kemudian, Tamu itu datang lagi ke rumah Pak Tua.



Tamu :

"Pak tua, saya melakukan apa yang Anda sarankan. Di setiap waktu senggang saya bermain
sepuas-puasnya semua permainan anak-anak yang saya senangi dulu. Dan keajaibanpun terjadi.
Sampai sekarang saya tidak pernah merasa bosan lagi, meskipun di saat saya melakukan hal-hal yang dulu pernah saya anggap membosankan. Kenapa bisa demikian, Pak Tua?"


Sambil tersenyum Pak Tua berkata:


"Karena segala sesuatu sebenarnya berasal dari pikiranmu sendiri, anakku. Kebosanan itu pun berasal dari pikiranmu yang berpikir tentang kebosanan. Saya menyuruhmu bermain seperti anak kecil agar pikiranmu menjadi ceria. Sekarang kamu tidak merasa bosan lagi karena pikiranmu tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiranmu tentang kebosanan. Segala sesuatu berasal dari pikiran. Berpikir bosan menyebabkan kau bosan. Berpikir ceria menjadikan kamu ceria."

Read more


Hidup Terus Berputar


Semua orang tahu hidup itu singkat, namun, berapa banyak yang bisa menghargai atau menyayangi hidup, menjalani hidup diri sendiri dengan baik? Banyak orang yang sewaktu akan meninggal, kerap merasa menyesal terhadap apa yang dilakukannya sepanjang hidupnya, merasa diri ini hidup sia-sia, seandainya bisa kembali membuka lembaran baru, dia pasti ingin menjalani hidup yang berbeda sama sekali. Namun kini segalanya sudah terlambat, malaikat pencabut nyawa sedang mengetuk pintu, waktu yang tersisa tinggal sedikit, tiba-tiba dia baru menyadari dirinya belum pernah hidup.

Karena itu, ketika orang-orang berkata takut mati, sebenarnya yang benar-benar ditakuti adalah, diri sendiri belum pernah hidup yang sesungguhnya. Setiap ketika ada yang meninggal dunia, Anda akan merasa sedih. Namun, pernahkah Anda renungkan? Apakah Anda sedih karena orang yang meninggal itu atau Anda sedih untuk diri sendiri? Sesungguhnya, besar kemungkinan Anda sedih untuk diri Anda sendiri, sebab setiap kematian akan membuat Anda menyadari bahwa Anda juga bisa mati, bagi Anda kematian itu meresahkan dan menakutkan, sebab Anda belum pernah hidup baik-baik sebagaimana mestinya, Anda selalu membuang-buang waktu.

Setiap malam minggu, kita heran kenapa seminggu ini lantas berlalu begitu saja. Setiap tahun baru, kita merasakan kenapa setahun berlalu sudah. Pergi mendaki gunung, baru sadar tenaga dan stamina tidak sekuat dulu lagi; melihat rambut putih, baru sadar diri ini sudah tua, sudah berusia 40, 50 tahun atau hampir senja dan gigi bertanggalan, namun, bagaimanapun tidak terenungkan, bagaimana hari demi hari itu berlalu! Lebih celakanya lagi, masih banyak hal yang belum Anda kerjakan, masih banyak mimpi yang belum diraih, Anda bahkan belum menjalani hidup yang sesungguhnya, lantas sudah akan pergi begitu saja selama-lamanya, bukankah ini sangat mengerikan?

Baru-baru ini dalam sebuah buku melihat sebait kata-kata demikian, saya merasa mirip sekali dengan gambaran hidup banyak orang, petikannya seperti berikut ini: "Awalnya, saya ingin sekali masuk ke perguruan tinggi; kemudian ingin rasanya segera menyelesaikan kuliah agar bisa mulai bekerja; berikutnya, saya ingin menikah, dan ingin sekali memiliki anak; lalu, saya sangat berharap anak-anak cepat dewasa dan sekolah, agar saya bisa kembali bekerja; selanjutnya, tiap hari saya merenung ingin sekali segera pensiun; kini, saya benar-benar hampir akan mati ¡K".

Tiba-tiba, baru saya sadari, saya selalu lupa untuk menjalani hidup yang sesungguhnya. Hidup semua orang begitu mirip, sejak kecil ingin sekali segera tumbuh dewasa, setelah dewasa menginginkan cinta, perkawinan, anak, setelah memiliki anak lalu berharap mereka segera dewasa. Kemudian, cerita generasi kemarin kembali dimainkan lagi pada generasi berikutnya. Apakah perjalan hidup ini hanya berupa serangkaian penantian dan harapan, atau tak berdaya? Pasti masih ada sedikit yang berbeda, kan!

Saudara-saudari yang tercinta, tidak peduli berapa usia Anda saat ini, saya harap Anda juga bisa seperti saya selalu mengingat atau meninjau kembali kehidupan sendiri. Apa saja yang telah Anda perbuat sepanjang hidup ini? Hal yang ingin Anda kerjakan apakah sudah Anda lakukan? Apakah Anda pernah tersenyum atau tertawa, pernahkah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya? Hidup sampai detik ini, apakah ada sesuatu yang dirasakan kurang dan merasa menyesal?

Anda bisa bertanya seperti ini pada diri sendiri; saat hidup ini berakhir, apa Anda berharap diri Anda pernah hidup dengan suatu bentuk yang lain? Ada seorang siswa menceritakan sepotong kisah dirinya. Itu adalah peristiwa yang terjadi pada musim dingin tahun lalu, ayahnya terburu-buru hendak ke luar negeri, dan dia juga tergesa-gesa untuk pergi menepati janji bertemu dengan temannya, dan dengan terburu-buru dia mengucapkan sampai bertemu lagi kepada ayahnya. Dia tidak tahu ternyata ini adalah perpisahan terakhir mereka, sebab sejak itu mereka tidak pernah "berjumpa lagi". Kematian sang ayah, membuatnya sangat sedih dan menyesal, dengan sayu dia berkata: "kini, semuanya sudah terlambat."

Kisah seperti ini sebenarnya terus berulang dan berulang. Banyak yang kerap merasa "terlambat", baru sadar masih banyak yang belum dikerjakan, banyak kata-kata yang belum sempat diutarakan, sungguh ini adalah penyesalan terbesar dalam kehidupan. Membuka lembaran koran atau menyalahkan televisi, Anda akan melihat di mana-mana adalah kecelakaan dan bencana, setiap hari pasti ada berita tentang kematian. Ada Tsunami di pantai selatan Jawa, ada peledakan bom di India, angin topan di China dsb, mohon tanya orang-orang ini, sebelum meningalkan rumah di pagi hari pernahkah terlintas dalam benak kita akan pergi begitu saja? Hidup ini tidak menentu.


Apakah kita pernah merenungkan hidup Anda? Bagaimana Anda menjalani hidup selama beberapa tahun ini? Setiap hari tergesa-gesa, berangkat pagi pulang malam, hanya untuk memperoleh uang lebih banyak, mendapat kedudukan yang lebih tinggi, berusaha mengejar kesuksesan di mata duniawi, mengejar kenikmatan materi yang menggoda manusia, lantas setelah itu? Anda tetap saja hampa, tidak bahagia, bukan? Jika hidup kita hanya serangkaian kesibukan, beban stres, yang tersisa hanya tanggung jawab, kewajiban, tiada keceriaan dan kegembiraan, kehidupan seperti ini bukankah sangat menjenuhkan?

Jangan sampai sudah terlambat baru tidak rela pergi (mati) begitu saja, jangan sampai terlambat baru kemudian menyesal, sebaiknya tahu sebelum terlambat. Hidup tidak ada gladiresik, pertunjukkan tidak bisa dicoba. "Mentari terbit dan terbenam kapan kembali? Bunga berguguran tak berdaya!"

Read more


Kedamaian Hati adalah Kedamaian Sejati


Seorang Raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah yang melimpah kepada siapa saja yang bisa melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis berusaha keras untuk memenangkan lomba
tersebut. Sang Raja berkeliling melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar paling disukainya. Tapi, sang Raja harus memilih satu diantara keduanya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaga yang itu bagaikan cermin sempurna yang mematulkan kedamaian gunung-gunung yang tenang menjulang mengitarinya.
Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul. Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai, sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar liar. Disisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih, sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian. Tapi, sang raja melihat sesuatu yang menarik, di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil diatas sela-sela batu. Didalam semak-semak itu seekor induk burung pipit meletakkan sarangnya. Jadi, ditengah-tengah riuh rendahnya air terjun, seekor induk Pipit sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenangkan lomba?
Sang Raja memilih lukisan nomor dua.
Tahukah Anda mengapa? karena jawab sang Raja, “Kedamaian bukan berarti Anda harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan atau pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai, meski Anda berada di tengah-tengah keributan luar biasa.”

“Kedamaian hati adalah kedamaian sejati.”

Read more


Kedamaian Hati adalah Kedamaian Sejati

Seorang Raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah yang melimpah kepada siapa saja yang bisa melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis berusaha keras untuk memenangkan lomba
tersebut. Sang Raja berkeliling melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar paling disukainya. Tapi, sang Raja harus memilih satu diantara keduanya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaga yang itu bagaikan cermin sempurna yang mematulkan kedamaian gunung-gunung yang tenang menjulang mengitarinya.
Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul. Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai, sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar liar. Disisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih, sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian. Tapi, sang raja melihat sesuatu yang menarik, di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil diatas sela-sela batu. Didalam semak-semak itu seekor induk burung pipit meletakkan sarangnya. Jadi, ditengah-tengah riuh rendahnya air terjun, seekor induk Pipit sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenangkan lomba?
Sang Raja memilih lukisan nomor dua.
Tahukah Anda mengapa? karena jawab sang Raja, “Kedamaian bukan berarti Anda harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan atau pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai, meski Anda berada di tengah-tengah keributan luar biasa.”

“Kedamaian hati adalah kedamaian sejati.”

Read more


Bekerjalah Dengan Cinta


Wanita paruh baya itu berperawakan pendek dan sedikit gemuk. Beberapa helai uban turut menghiasi mahkota kepalanya yang diikat dengan penjepit rambut. Namun raut wajah bulat telur itu seakan tak pernah sekalipun terlihat cemberut. Ia selalu tampak riang, sehingga menyembunyikan parasnya yang jelas telah digurati keriput.

Wanita itu memang tidak terlalu renta, tetapi kekuatan dan kegesitan di masa mudanya niscaya telah direnggut usia. Karenanya, percayakah bahkan dari dirinya pun akan ada sebuah pelajaran tentang makna cinta?

* * *

Selalu…

Sabtu adalah hari yang ditunggu. Hari di mana nafas bisa dihela dengan panjang, dan sejenak mengistirahatkan raga dari rentetan kesibukan yang melelahkan. Saatnya pula untuk menikmati kebersamaan dengan seisi anggota keluarga. Sehingga, berbelanja di sebuah supermarket dekat rumah pun menjadi hiburan yang tak kalah meluahkan kebahagiaan.

Namun sepertinya tidak bagi wanita itu. Bagaikan tak mengenal hari libur, nyaris setiap waktu sosoknya selalu kutemui di sekitar kokusai kouryuu kaikan serta kampus.

Layaknya hari kerja, dikemasnya sampah-sampah yang berserakan serta dipisahkan antara yang terbakar dan tidak. Lantas ditaruhnya pada plastik yang berbeda warna. Sebentar kemudian diambilnya kain untuk mengelap kursi dan meja. Tak lupa, dengan vacuum cleaner dibersihkannya juga permukaan lantai. Setelah selesai ia segera beranjak ke toilet, lalu dengan mengenakan sarung tangan plastik dibersihkannya bekas kotoran manusia tersebut tanpa raut muka jijik.

Ia seperti tak peduli rasa lelah atau letih, walaupun terlihat pakaian seragam cleaning service biru mudanya telah basah bersimbah keringat. Tak juga kepenatan menyurutkan keramahannya untuk bertegur sapa dengan siapa saja saat bertemu muka.

Wanita itu entah siapa namanya. Hanya dengan panggilan obachan ia biasa disapa. Saat bersua denganku, juga selalu disempatkannya bertanya kabar. Bahkan ia pernah bercerita panjang lebar tentang anak-anak serta cucunya karena sering melihatku berjalan-jalan dengan keluarga. Beberapa kali pula saat usai kerja kulihat ia sedang berbelanja, masih lengkap dengan seragam biru mudanya. Lantas ditaruh barang-barang tersebut dikeranjang, dan perlahan dikayuhnya pedal sepeda tua untuk beranjak pulang.

Entahlah, rasanya tak ada perasaan iri dihatinya saat di hari libur ia ternyata harus bekerja, sementara aku justru berleha-leha. Ia bahkan tetap saja semangat bekerja dengan penuh suka cita. Begitu pula dengan obachan dan ojichan lain yang pernah kutemui, mereka selalu asyik menikmati pekerjaannya. Mencabut rumput liar di pekarangan kampus ketika musim panas, menyapu jalanan dari daun yang berserakan pada musim gugur, bahkan dengan bersusah payah turut menyerok tumpukan bongkahan salju di musim dingin.

Terlihat betapa bergairahnya mereka ketika memang waktunya harus bekerja. Gairah dalam bentuk kesungguhan dalam menekuni apapun jenis pekerjaan, yang mungkin tak dipandang orang walau dengan sebelah mata. Karenanya, tak terdengar ngalor-ngidul obrolan hingga jam istirahat tiba untuk sejenak melepaskan lapar dan dahaga. Berselang satu jam kemudian, mereka akan kembali sibuk menekuni pekerjaannya. Senantiasa egitu, dari waktu ke waktu.

Rutinitas mereka mungkin tidaklah istimewa. Bekerja demi memperoleh sedikit nafkah atau sekedar menghabiskan waktu luang, tentu lebih baik dari bermalas-malasan di rumah. Terlebih-lebih itu adalah pekerjaan kasar, bukan kerja kantoran yang menyenangkan dengan penyejuk atau pemanas ruangan.

Lalu mengapa mereka selalu saja bekerja seolah tak pupus oleh lelah? Bahkan bekerja bagaikan sebuah energi yang tak kunjung padam, mengalir dalam pembuluh darah serta menggerakkan jiwa dan raganya.

Sekejap akupun tepekur, kemudian mahsyuk merenung…

Dan kulihat ada gairah membara yang berpendar dari balik kerut-merut kelopak mata tua itu. Seolah sinar matanya menyiratkan pesan agar bekerjalah dengan cinta. Karena bila engkau tiada sanggup, maka tinggalkanlah. Kemudian ambil tempat di depan gapura candi untuk meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan suka cita. (Kahlil Gibran).


Catatan:
- Kokusai kouryuu kaikan: International House
- Obachan: wanita berumur, setengah tua
- Ojichan: pria berumur, setengah tua

Read more


Kejujuran yang Menyelamatkan Jiwa


Disuatu desa terpencil dipinggiran kota , tinggalah seorang anak laki-laki bersama 6 saudaranya, kehidupan keluarga ini terlihat sangatlah sederhana, orang tuanya hanya seorang buruh tani, kakak dan adiknya semua masih bersekolah sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang hanya mengurusi keluarga. Untuk membantu keuangan keluarganya setiap hari selepas pulang sekolah , ia pergi kepasar untuk berjualan asongan.

Pada suatu hari saat anak ini sedang menjajakan dagangannya, tiba-tiba ia melihat sebuah bungkusan kertas koran yang cukup besar , terjatuh dipinggir jalan, lalu diambilnya bungkusan tersebut, kemudian dibukanya bungkusan itu, namun betapa kaget dan terkejutnya ia, ternyata isi bungkusan tersebut berisi uang dalam nominal besar.

Tampak diraut wajahnya rasa iba dan bukan kegembiraan, ia tampak kebinggungan, karena ia yakin uang ini pasti ada yang memilikinya , pada saat itu juga anak ini langsung berinisiatif untuk mencari sipemilik bungkusan tersebut, sambil mencari-cari sipemiliknya, tiba-tiba seorang ibu dengan ditemani seorang satpam datang dengan berlinang air mata menghampiri anak kecil itu , lalu ibu ini berkata “dek, bungkusan itu milik ibu, isi bungkusan itu adalah uang”.

Uang untuk biaya rumah sakit,karena anak ibu baru saja mengalami kecelakan korban tabrak lari, saat ini anak ibu dalam keadaan kritis dan harus cepat dioperasi karena terjadi pendarahan otak, kalau tidak cepat ditangani ibu khawatir jiwa anak ibu tidak akan tertolong.

Pagi ini ibu baru saja menjual semua harta yang ibu miliki untuk biaya rumah sakit, Ibu sangat membutuhkan uang ini untuk menyelamatkan jiwa anak ibu.

Lalu anak kecil tersebut berkata,” benar bu, aku sedang mencari pemilik bungkusan ini, karena aku yakin pemilik bungkusan ini sangat membutuhkan. “Ini bu !, milik ibu”. setelah itu anak kecil tersebut langsung berlari pulang , sesampai dirumah ia ceritakan semua kejadian yang baru saja dialami kepada Ibu nya.

Lalu ibunya berkata , “ Benar anak ku ! “, kamu tidak boleh mengambil barang milik orang lain, walau pun itu dijalanan , karena barang itu bukan milik kita. Ibu sangat bangga pada mu nak, walau pun kita miskin , namun kamu KAYA dengan KEBAIKAN dan KEJUJURAN.

Untuk apa kita memiliki kekayaan yang melimpah, sementara kita harus mengorbankan nyawa orang lain . “Kamu sungguh anak yang baik nak” , ibu sangat bersyukur mempunyai anak seperti mu.

Hari ini ibu percaya, kamu sudah menyelamatkan satu jiwa melalui kebaikan dan kejujuran mu, kamu harus jaga terus kejujuranmu , karena kejujuran dapat menyelamatkan banyak orang dan kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana . “Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil”.

(“Matamu adalah pelita tubuhmu, Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi gelap. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya.” )

Read more


Biarkan Saya Berubah


Malam ini jalanan masih basah karena hujan mengguyur dari tadi siang. Aku melangkahkan kakiku melewati gang-gang kecil sepanjang jalan menuju rumahku.

Seperti biasa, tiap aku melangkah selalu saja ada pandangan-pandangan aneh mengikutiku. Cuek saja, memangnya siapa mereka? Begitulah yang aku katakan pada diriku setiap ada yang melihatku dengan tatapan aneh. Terkadang ada anak-anak kecil yang suka mengikutiku dari belakang dan meneriaki, “Ada banci, ada banci! ”

Siapa sih yang mau diciptakan dengan keadaan yang seperti ini. Aneh. Tubuhku memang laki-laki tapi kata orang, gerakanku seperti wanita, lemah gemulai. Ih, aku juga enggan menjadi seperti ini. Namun susah untukku menolak semua ini.

“Tuhaaaaaaaaaaaaaaan, aku tidak terima dengan semua ini!!! Aku ingin normal seperti yang lain. . . menjadi laki-laki seutuhnya.”

Aku duduk di sudut kamarku, tertunduk. Merenungkan tentang keanehan dalam diriku. Air mata ini mengalir deras, entah apa ini termasuk sikap meratapi hidup.

Rasa ini semakin kuat. Tekadku bulat, aku harus berubah. Harus!!!

Kulihat cermin. Mencoba mengamati apa saja yang salah pada diriku. Hmm, ternyata banyak yang harus dirubah dari diriku. Mulai dari dandanan, cara berjalan serta cara berbicaraku yang memang agak mirip wanita tapi aku bukan wanita.

Hari ini aku sedang tidak ada kuliah, aku putuskan untuk ke salon. Permak habis-habisan. Aku punya kenalan di salah satu salon terkem

“Dev, kemana aja bo’? Sudah lupa ya sama kita-kita,” kata si Shanti padaku. Sebenernya namanya Suryo, tapi karena dia ‘banci’ jadi lebih senang dipanggil Shanti. Hihihi, risih juga denger cara mereka ngomong.

“Eh, aku butuh bantuan neh.”

“Ada apaaan Jeng?”

“STOP!! Emangnya aku cewek, dipanggil Jeng.” Sambil melotot ke arah Shanti.

“Ups, sorry nek. Kerasukan setan apa lu, tumben ga mau dipanggil gitu.”

“Aku mau berubah, jadi laki-laki sejati.”

Spontan Shanti tertawa terbahak-bahak sampai satu ruangan memandang ke arah kami.

“Ssst. .. jangan keras-keras. Apa salah kalo aku berubah? Toh sebenarnya aku ini laki-laki, cuma butuh sedikit direnovasi aja.”

“Renovasi?? Rumah kalieeeeeeeeeee. . .”

“Whatever you said. I don’t care!!!”

“Oke-oke, tenang aja. Di tangan Shanti semua akan berubah sesuai dengan keinginanmu.”

Akhirnya Shanti meminta aku duduk di salah satu kursi. Dia mengamati wajahku dari cermin. Sambil mangut-mangut, dia mulai mengambil sisir. Kemudian gunting. Dia mulai memotong rambutku.

Beberapa menit kemudian rambutku langsung berubah. Shanti benar-benar hair styler yang profesional.

“Gimana Dev? Puas??”

“Hmm, lumayan,” kataku sambil mengamati hasil karya Shanti.

Model rambut spike dia pilihkan buatku. Katanya dengan model ini aku bisa terlihat macho.

“Dev, coba deh kamu jalan dari sini sampai depan pintu trus kamu balik lagi ke sini.”

“Buat apa?” Perintah yang aneh batinku.

“Udah laksanain aja.”

Shanti langsung mendorong tubuhku biar aku mau menuruti perintahnya. Karena tidak ada pilihan lain aku pun menurutinya. Aku berjalan sampai ke pintu depan trus kembali lagi ke tempat dudukku. Duh, malu banget diliatin orang-orang di salon.

“Jalanmu ancur banget Dev, gimana orang bisa percaya kalo kamu cowok tulen. Lha jalanmu aja kaya cewek. Heheheh…..”

Yah, ditertawain lagi deh.

“Trus gimana dong.” Sambil pasang muka melas.

“Cowok tuh kalo jalan mesti tegap. Tuh coba liatin cowok-cowok yang lewat. Nah, tahu kan perbedaannya?”

“Oh, gitu yah. Pantes aja aku selalu jadi pusat perhatian tiap jalan di depan umum.”

Setelah mengalami “renovasi” di salon, aku memutuskan untuk pulang dan memikirkan strategi selanjutnya.

“Tit. .tit. .tit” Ada SMS masuk. Dari Nina, dia mau pinjam catatan Farmakop. Nina adalah sahabat dekatku selama aku kuliah di fakultas Farmasi. Dia tidak pernah meledekku atau menjadikanku bahan bercandaan. Bener-bener anak yang baik.

Hari ini aku ada dua mata kuliah. Sengaja bangun lebih pagi dan bersiap-siap dengan perubahan.

“Aku yakin aku bisa berubah. Tuhan, mudahkanlah langkahku. Aku mau berubah menjadi lelaki seutuhnya.”

Dengan langkap tegap aku berjalan dari rumah menuju jalan raya. Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh, makin aneh tepatnya. Aku tetap berjalan dan tidak memperdulikan sekitarku.

“Ini Dev ya? Berubah banget, jadi ganteng sekarang.” Nina mengagetkanku. Biasanya kita selalu bareng tiap mau kuliah, mungkin karena kos-kosan kita deket.

“Ah biasa aja Nin. Uhm, apa masih keliatan kaya banci?”

“Hush, ngomong apa sih, Dev. Aku tuh gak pernah bilang kamu banci. Tapi aku senang melihat perubahanmu sekarang.”

Duh, senyum Nina kali ini benar-benar membuatku merasa gimana gitu. Jadi merasa melayang. Apa ini namanya jatuh cinta?? Ah, tidak mungkin.

“Dev, busnya dah datang. Ayo cepetan.” Nina langsung menggandengku untuk segera masuk ke bus kota.

Kali ini ada yang aneh, jantungku berdegup kencang. Dag dig dug.

Suatu sore hujan kembali mengguyur Surabaya. Kebetulan waktu itu kuliahku sampai sore. Cuma ada aku dan Nina di halte. Semuanya sudah pulang. Sumpah dingin banget di sini.

“Nin, boleh ngomong sesuatu gak?”Aku mencoba memulai pembicaraan.

“Iya Dev. Ada apa?”

“Jujur, sejak pertama masuk di universitas ini cuma kamu satu-satunya orang yang paling baik padaku. Kamu tidak pernah menghinaku. Kamu terima kekurangan apa adanya.”

“Trus.”

“Aku mau kamu jadi cewekku.” Haduwh, malu banget rasanya. Kenapa aku seberani itu.

“Kamu serius Dev??” Nina coba meyakinkanku.

“Aku serius.”

Nina hanya tersenyum padaku.

“Dev, maaf….” Nina tidak meneruskan kata-katanya, jantungku berdegup tidak karuan.

Apakah ini sebuah penolakan?? Atau mungkin aku yang tidak tepat mengatakan tentang hal ini.

“Dev, masih banyak hal yang lebih penting yang bisa kita lakukan. Aku rasa terlalu cepat untuk hal ini. Semoga kamu memahaminya. Tapi, kita tetap berteman tepatnya bersahabat.”

“Iya Nin, kamu benar. Thanks yah, kamu sudah memberiku semangat. Ini sudah cukup buatku.”

Seiring hujan yang mulai berhenti, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Ini awal kehidupan baruku. Aku harus tetap konsisten dengan jalan yang kutempuh. Menjadi lelaki seutuhnya, lelaki sejati. Bukan BANCI!!!

Read more